Sunday, March 28, 2010

KAMMI UNILA: Kader KAMMI belajar nulis

KAMMI UNILA: Kader KAMMI belajar nulis

12 TAHUN KAMMI MENATA INDONESIA (Membumikan Ideologi, Menginspirasi Indonesia) Minggu, 28 Maret, 2010 13:18

12 TAHUN KAMMI MENATA INDONESIA (Membumikan Ideologi, Menginspirasi Indonesia)
Minggu, 28 Maret, 2010 13:18
Oleh: Syamsudin Kadir
Kaderisasi KAMMI Periode 2008-2010

"Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut"
(Mohammad Natsir, 17 Agustus 1951)

Apakah dirimu pernah membaca tulisan Akhi Imron Rosyadi tentang KAMMI? Bagi yang belum, tak salah kiranya bagiku untuk mencantumkannya di sini. Ada sebuah tulisan yang membuatku terkesima; benar-benar membuatku tersadarkan. Tulisan beliau yang berjudul "Namaku KAMMI: An autobiographical sketch" telah membuatku bertambah jatuh cinta kepada KAMMI. Kini tulisan ini sudah dimasukkan sebagai salah satu tulisan buku "Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang" yang diterbitkan oleh penerbit Muda Cendekia, Bandung Maret 2010. Kalau dirimu membaca buku "Mengapa Aku Mencintai KAMMI: Serpihan Hati Para Pejuang", itu adalah judul dan tagline yang sengaja kuberi untuknya. Di buku sederhan itu kutulis pengantar yang berjudul "Karena Mereka Elang Muda!". Bukan karena KAMMI dan kader-kader KAMMI kujadikan sebagai thogut, namun itulah kata-kata yang menjadi "juru bicara" terbaik bagi pikiranku selama ini. Terutama ketika tersemangati oleh obsesiku melalui Muda Cendekia untuk membukukan semua ide atau gagasan dan apapun yang ada di KAMMI, potensi dan keunikan kader-kadernya.

Mungkin bukan karena aku bahkan mungkin juga bukan karena kader-kader KAMMI memiliki ide yang begitu "wah" untuk KAMMI, Indonesia dan Islam--apalagi kalau dibandingkan dengan Hasan Al-Banna atau Mohammad Natsir; jauh dan sangat jauh--tapi diriku punya obsesi, minimal dengan memberi yang kupunya (walau tak seberapa) dan melakukan yang kubisa (walau masih sekedar) untuk KAMMI--seperti memberi kata pengantar buku dan rela tinggal di sekretariat KAMMI dari tahun 2004 hingga sekarang--rasa cinta dan rindu (yang terpendam selama ini) untuk memberi terobati. Ya, aku benar-benar ingin melakukan sesuatu dan memberikan yang terbaik untuk Islam melaui KAMMI; sebuah rumah tempat kumengenal Allah, Muhammad, diri dan negeriku tercinta Indonesia. Diriku percaya bahwa ide dan obsesimu lebih besar dari sekedar apa yang kupikirkan dan yang kulakukan.

Akhi Imron Rosyadi--dan tentu juga Akhi Andi Rahmat, Akhi Muhammad Najib, Akhi Taufik Amrullah, Akhi Rijalul Imam, Akhi Amin Sudarsono, Akhi Edo Segara, Mba Muthia Esfand dan beberapa orang kader KAMMI yang sudah berkarya (menulis buku)--telah menginspirasiku. Walau sederhana bahkan belum memenuhi standar penulisan dan tata bahasa, ya tak mengapa. Karena rasa "cinta menulis" sebagaimana cintaku kepada KAMMI lebih dulu membuat hatiku tertakluk; lebih dari sekedar cintaku sebagai Editor yang selalu melakukan penyesuaian tata bahasa terhadap berbagai naskah yang masuk penerbitan. Padahal tulisanku juga tidak lebih baik dari tulisan-tulisan yang kuedit.

Tanpa bermaksud "mengcopy paste" tulisan Akhi Imron Rosyadi, diriku sengaja mencantumkan tulisan tersebut di sini supaya saudara-saudaraku bisa mengambil pelajaran; bisa mengenang masa lalu KAMMI dan para pendahulu di KAMMI. Kalau dirasa kurang sopan, izinkan aku untuk memohon maaf kepada mereka yang berwenang. Terutama kepada saudara-saudaraku di Penerbit Muda Cendekia Indonesia di Bandung yang dengan tulus menerbitkan buku tersebut. Walau diriku bagian dari Muda Cendekia, namun ini adalah etika. Biar apa yang kulakukan benar-benar tulus tanpa beban. Semoga Akhi Rijalul Imam, Akhi Burhan, Akhi Wawan dan Mba Tri mengikhlaskan! Termasuk juga kepada Akhi Imron Rosyadi yang telah tulus mengajariku bahasa jiwa apa adanya.

Ya sudah, mungkin dirimu penasaran dan bertanya, mana tulisan Akhi Imron Rosyadi yang kumaksud. Berikut akan kukutipkan semuanya. Untuk lebih mengalurkan sesuai dengan suasana KAMMI yang sudah berusia 12 tahun, izinkan aku untuk mengutipnya dengan penyesuaian di sana-sini. Bukan merubah esensi, tapi penyesuaian bahasa dan juga kondisi KAMMI dari waktu ke waktu. Biar apa yang disampaikan mampu menyadarkan kader-kader KAMMI; diriku dan juga saudara-saudaraku yang lain di KAMMI bahkan juga di selain KAMMI, di manapun mereka berada dan apapun amanah mereka. Agar semuanya bisa bertahan untuk tetap melanjutkan perjuangan hingga ke tepian negeri abadi; di surga sana. Selanjutnya, selamat membaca dan mengambil hikmah!

***

NAMAKU KAMMI – an autobiographical sketch –

Namaku KAMMI. Orang-orang juga memanggilku demikian, lebih praktis dibanding melafalkan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia. Kalau engkau teringat sesuatu begitu memanggilku, tentulah sebuah akronim KAMI yang mencatat prestasi besar (dan akhirnya kelam?) sebuah jaringan gerakan mahasiswa Indonesia dalam rentang sejarah Indonesia `66-an. Konon, atas alasan citra historis itulah founding fathers-ku mengambil nama itu, dan atas alasan ideologis menambah tasydid pada mim hingga KAMMI-lah namaku.

Aku lahir tanggal 29 Maret 1998 di Malang dalam rentang situasi yang teramat sangat "enak dan perlu" bagi lahirnya gerakan mahasiswa di negara dunia ketiga; tirani-otoriter, despotik, tidak adil, dan tidak demokratis. Gerakan mahasiswa--begitula h aku disebut--adalah bagian dari aktor muda yang selalu mencoba masuk dalam peta sejarah peradaban bangsa yang selalu saja terhegemoni oleh orang-orang tua yang bermentalitas "stabilisme" , "klaim legitimasi dan otoritas", "mapan" dan "status quo". Kami adalah anak muda secara biologis bahwa keniscayaan takdir membuat manusia harus mati dan berganti, maupun secara historis bahwa kami adalah generasi baru Indonesia yang setidaknya "tersucikan" dari kekotoran dan najis politik generasi lama yang memporakporandakan bangsa ini. Sebagai anak muda tentu saja kami bernilai istimewa; "energik", "kreatif", "bening-moralis" , dan tentu saja `anti status quo'. Wajar sajalah sehingga orang semacam Arnold Toyenbee dalam buku monumentalnya "The Study of History", menyebut kami (yang spiritnya diilhami oleh Ibnu Khaldun) "the creative minority", maupun Jack Newfield yang menggelari kami sebagai "pengusung pesan-pesan kenabian".

Tetapi aku tidak lahir begitu saja, benihku adalah benih yang tertanam dalam rahim Indonesia sejak 25-an tahun silam. Saat itu Soeharto dan para arsitek Orde Baru begitu ketakutan di usia politiknya yang baru belasan tahun terhadap mahasiswa yang mulai jenuh dan menentangnya. Daud Yusuf menerjemahkannya melalui proyek depolitisasi kampus melalui NKK-BKK. Tiarapnya gerakan mahasiswa secara politik dimanfaatkan secara kreatif dengan memanfaatkan peluang yang setidaknya dilihat Orde Baru sebagai sikap apolitis: kajian keislaman. Generasi baru Islam Indonesia tahun `80-an seolah menemukan cara yang berbeda dalam memahami Islam dan konteks politik Indonesia saat itu. Setidaknya itulah yang tergambarkan lewat seruan Nurcholis Madjid--yang lumayan kontroversial secara ide--"Islam yes, Partai Islam no".

Semangat baru generasi muda Islam terhimpun dalam usaha untuk meyakini Islam sebagai alternatif bacaan yang membawa "pencerahan" atas "gelapnya" dominasi wacana Barat (dan dalam konteks Indonesia adalah dominasi Orde Baru) dan kemudian usaha membaca Islam secara intelektual untuk merumuskannya dalam praksis agenda obyektif bangsa. Anak-anak muda Islam tersebut membaca Al-Quran (dan Sunnah Rasulullah) dengan sepenuh gairah kemudaan dan melakukan eksplorasi dan elaborasi secara intelektual dan gerakan.

Lahan persemaianku, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) adalah manifestasi dari gairah-gairah tersebut, hingga dari kampus-kampus besar ia menyebar ke seluruh Indonesia dengan polanya yang khas: "kajian keislaman", "dalam sel-sel kecil pembentukan kepribadian" , dan "wacana dengan dasar Al-Quran dan Sunnah". Fahri Hamzah--mas' ul pertamaku--menyebut nya sebagai "anak-anak sekolah" yang punya "gagasan untuk berjama'ah', berkumpul dalam suatu kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik, mental, dan spiritual" di mana "kesadaran ini berlanjut menjadi semacam gerakan purifikasi" yang menjadikan "sejarah nabi dan sahabat sebagai ingatan dasar". Orang menyebutnya sebagai gerakan purifikatif atau neo-revivalis atau menurut Hasan Hanafi adalah Islam reformis moderat, yang biasanya disandarkan sebagai sifat dan ideologi sebuah gerakan internasional yang tumbuh dari Mesir: Ikhwanul Muslimin.

Tetapi, aktivitas purifikasi yang bergerak seolah secara "bawah tanah" pada awal 90-an muncul ke ranah publik (kampus) dengan melakukan--menurut Qodari—"afirmasi" terhadap "politik kampus" dengan masuk dalam lembaga politik kampus. Periode itulah yang menentukan arah dakwah kampus yang lebih "terbuka" dan menjelaskan masifnya mobilisasi yang luar biasa cepat pada tahun 1998 yang melahirkanku- -KAMMI--sebagai sebuah jaringan kerja gerakan dakwah, sekaligus sebagai "tapal batas" antara dakwah kampus melalui LDK yang semula apolitis menjadi sebuah gerakan politik baru.

"Maka tatkala mereka (kaum itu) melupakan peringatan (dan ajaran) yang telah diberikan pada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka. Sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang diberikan kepada mereka, Kami siksa (dan timpakan bencana kepada) mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam (terpana) dan putus asa (tak tahu harus berbuat apa)." (Qs. Al-An'am: 44)

Namaku KAMMI. Aku lahir dan besar dengan sangat cepat, dengan prestasi politik yang dianggap terlalu hebat untuk gerakan seusiaku. Saat seluruh aksi demonstrasi 1998 masih berpusar di dalam kampus sebagai wilayah yang aman dan terlindungi oleh kebebasan akademis, aku hadir keluar kampus dengan massa besar (20.000 orang) tanggal 10 April 1998 di "wilayah aman" yang lain yaitu di mesjid (Al Azhar Jakarta). Aksi yang kemudian kugeliatkan secara masif bersama elemen bangsa yang lain berturut-turut di berbagai kota, dengan darah yang terkorbankan di Trisakti, dengan sisipan manuver-manuver politik yang undercover, yang berpuncak pada kegentingan Jakarta 20 Mei 1998 saat aku, Amin Rais dan jaring reformasi yang lain merencanakan Aksi Sejuta Ummat di Monas pada hari Kebangkitan Indonesia. Aksi yang gagal, tapi berbuah esoknya: Soeharto mundur. Shadaqallaah; Maha Benar Allah dengan firman-Nya.

Lima tahun pasca Soeharto tumbang ini, kurenungi jejak-jejak langkah politikku. Kulihat setidaknya ada empat fase langkah politikku yang (ternyata) semua berjejak sama: isu kepemimpinan nasional. Sampai Soeharto lengser itulah fase pertamaku, dimana aku berhasil masuk dalam pusaran politik yang menentukan serta dimana interaksi antar elemen gerakan perubahan teramat sangat kuat. Semua berada pada lafadz yang sama: Turunkan Soeharto. Setelah itu? Kegagalan membangun platform Indonesia secara bersama dan mendefinisikan agenda reformasi yang konkrit dan sloganistis meruntuhkan bulan madu gerakan-gerakan `98. Sekat ideologis dan kepentingan menyeruak begitu pekat. Inilah fase keduaku: fase Habibie hingga Pemilu `99.

Usahaku meyakinkan bahwa reformasi harus menyeluruh, dan ia butuh waktu dan butuh penumbuhan institusi demokratis harus berkelindan dengan situasi sosial politik Indonesia yang rumit. Isu Sidang Istimewa `99 merubuhkan bangunan konsolidasi gerakan yang memecah gerakan--jadilah darah kembali menetes di Semanggi dan elemen masyarakat mengacungkan pedang dan tombaknya. Aku mencoba meredakannya dengan mengatakan bahwa menolak maupun menerima SI secara mutlak adalah salah, pilihan terbaiknya (menurutku) adalah memastikan bahwa SI menjamin reformasi total dan justru tidak meneguhkannya sebagai ruang baru bagi Orde Baru.

Saat itulah kukenalkan enam visi reformasi yang kemudian menjadi jargon utama sekaligus parameter evaluatif rezim bagi gerakan pro-reformasi pasca Orba yang meliputi: (1) penegakkan supremasi hukum dengan jalan pengadilan Soeharto (2) menghapus dwifungsi ABRI (3) mengamandemen UUD 45 (4) otonomi daerah yang luas (5) penegakkan tradisi demokrasi (6) pertanggung jawaban Orde Baru. Martin van Bruinessen mencatatkan fase Habibie sebagai situasi dikotomis antara pilihan politik kaum muslimin (termasuk Amin Rais) yang menganggap Habibie adalah "orang yang cukup" untuk menjamin transisi demokratis sekaligus menjamin "kepentingan" umat Islam, dengan pilihan politik kaum sekular yang menempatkan Habibie adalah "orang yang cacat" karena ia adalah murid Soeharto sehingga mereka memunculkan tokoh semacam Gus Dur, Megawati, dan Sri Sultan HB X yang--kata Bruinessen-- ironisnya karena alasan tertentu justru bukanlah orang yang secara tajam menyuarakan agenda reformasi saat Orde Baru masih tegar.

Hiruk pikuk fase Habibie selesai dengan Pemilu `99 yang melejitkan PDIP, "mengembalikan" Golkar dan memastikan kubu pro reformasi kembali terkubur oleh realitas politik. Gus Dur yang secara mengejutkan terpilih melalui gesekan-gesekan politik yang secara gamblang semakin menegaskan kekalahan agenda reformasi pada pragmatisme politik. Gus Dur pulalah yang selama ini disebut-sebut sebagai demokrat (setidaknya karena pada masa Soeharto ia pernah dirikan Forum Demokrasi) secara mengejutkan pula menjadi ademokratis, gagal membentuk negara yang kuat, terlebih berpikir tentang agenda reformasi. Inilah fase ketiga yang kembali mesti kulakoni: menurunkan Gus Dur! Agenda ini akhirnya mau tidak mau harus beririsan dengan pekatnya agenda politik di parlemen.

Sungguh, aku selalu berpikir bahwa Gus Dur semestinya adalah aktor politik yang dengan seluruh kebesarannya mampu menunaikan tugasnya. Tetapi ia gagal, rakyat juga berkata begitu, aku pun turun kembali dan berteriak agar ia turun. Sebuah pilihan baru yang kuambil secara lebih radikal--karena kesabaran yang semakin habis--bahwa akhirnya siapa saja yang gagal ia harus berhenti. Resiko yang kuhadapi pun tidak main-main, yang paling mahal tentu saja adalah konflik horisontal yang kembali menjadi bagian pertempuran elit politik. Berhadapan dengan pilihan sebagian gerakan kiri yang menandaskan pembubaran Golkar dan pengadilan Orde Baru sebagai satu-satunya pilihan dengan menafikan kemungkinan Orde Baru menyusup di tubuh Gus Dur. Gus Dur pun dimundurkan parlemen, dan memunculkan Megawati--dengan ironisme Indonesia yang selalu saja lupa pada sejarah--dengan problem yang sama.

Secara lebih reflektif, aku mencoba memahami kecenderunganku untuk selalu memilih isu khas kepemimpinan nasional. Pada satu sisi, ini meneguhkan posisiku yang selalu menjadi "oposan abadi" dan kelompok penekan (pressure group) bagi siapa saja yang berkuasa. Pada sisi lain, konsekuensi dari pilihan semacam ini adalah sifatnya yang pragmatis, dan pekat dengan kepentingan politik elit, karenanya menyebabkan konflik horisontal (akibat elit yang tidak pernah pede bertempur secara fair), sekaligus ia menutup pada agenda yang lebih substantif: agenda kultural dan agenda intelektual.

Masalahnya adalah karena Indonesia belum cukup dewasa untuk bertanggung jawab menyelesaikan proses demokratisasi. Pada situasi semacam itu, pilihan yang paling moderat (dan konservatif) adalah memang mewujudkan demokrasi model Schumpeterian yaitu dengan memastikan prosedur-prosedur dan koridor demokrasi dibangun dan dijalankan secara konsisten, sembari diimbangi dengan pilihan demokrasi partisipatif yang memastikan rakyat memungkinkan terlibat secara aktif dalam agenda politik yang biasanya diklaim sebagai wilayah elit politik. Inilah pilihan yang disodorkan oleh Eep Saefullah Fatah dengan istilah "kesabaran revolusioner" dengan mengkritik pilihan kedua yang ia sebut "ketergesaan politik" yaitu dengan secara radikal-revolusione r kembali meruntuhkan rezim yang--selalu saja--Orbaism.

"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak yang semuanya berdoa: "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang dzalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau". (Qs. An-Nisa: 75)

Namaku KAMMI. Tasydid pada mim dalam namaku adalah representasi ideologisku. Islam bagiku adalah energi yang amat dahsyat sekaligus samudera yang amat luas. Bagiku, Islam lahir untuk menentang dominasi dan hegemoni ide serta kekuasaan, ia menegaskan akan ketiadaan yang mutlak kecuali Allah Swt. Islam juga agama yang sangat kenyal (pervasive) mengikuti zaman, hingga Islam akan sulit dilihat sebagai agama yang out of date sehingga menjadi monumen ritual budaya semata, atau bahkan dipinggirkan dari peran-peran duniawi menjadi sekedar jalan spiritualitas. Bacaan terhadap Al-Quran dan Sunnah dilengkapi dengan metodologi (seperti Ushul Fiqh, dan Musthalah al-Hadits) yang memungkinkan untuk menjawab setiap pertanyaan zaman. Karena itulah, Islam selalu merupakan agama yang syamil wamutakammil (lengkap dan sempurna).

Keyakinanku yang utuh semacam inilah sebenarnya yang telah melahirkan kader-kader dakwah yang kata Tempo "sederhana, sopan, rendah hati (tawadlu), rajin ibadah, dan menegakkan sunnah" atau dalam bahasa Eko Prasetyo "berwajah teduh bermata sejuk--lugu dan murni, tetapi tampil dengan gagah, berani dan mungkin sedikit angkuh". Terlebih digambari dengan sejumput keistimewaan kalau tidak--menurut Bachtiar Effendy--"kemewahan " (luxury) bahwa mereka adalah generasi muda Islam terdidik yang terjalin dalam jaringan gerakan secara solid dan militan, barang berharga yang susah ditemukan oleh teman-temanku gerakan mahasiswa lain.

Karena itulah, dengan seluruh kelengkapannya Islam sebenarnya selain ia telah menyediakan energi bagi ranah politik yang selama ini kupakai, ia juga memberikan energi gerakan dan menjadi samudera eleborasi bagi ranah lain yang sayangnya jarang kumasuki: ranah kultural dan ranah intelektual. Ranah politik memang memastikan tekanan yang besar terutama bagi agenda pragmatis, tetapi ia meninggalkan sebuah ruang kosong yang justru berkontribusi dalam penunaian agenda perubahan bangsa. Kuamati bahwa realitas politik beberapa tahun pasca Soeharto adalah hiruk pikuk "seolah-olah" reformasi (alias reformasi palsu), kalau tidak justru adalah penggagahan reformasi oleh kepentingan nafsu kekuasaan dan kekayaan. Orde Baru telah berkembang jauh dari sekedar struktur politik menjadi mentalitas dan budaya, sehingga menumbangkan Orde Baru sesungguhnya bukanlah sekedar menggulung aktor-aktornya tapi justru merevolusi konstruksi mental yang ia bangun.

Ironisnya, seringkali aku harus terkejut melihat fenomena-fenomena Islam di Indonesia yang telah menyelusup secara "diam-diam" dalam relung-relung batin dan ruang-ruang masyarakat padahal akulah (setidaknya benih yang menumbuhkanku) adalah salah satu yang dulu mengenalkannya. Telah banyak cendekiawan yang menawarkan proposal agenda kultural itu: Kuntowijoyo dengan ilmu sosial profetiknya, Amin Rais dengan tauhid sosialnya, Muslim Abdurrahman dengan Islam transformatifnya. Bahkan Yusuf Qaradhawi amat membantu dengan merumuskan seperangkat fiqih yang membuatnya terasa mudah: fiqh perbedaan (ikhtilaf), fiqh pertimbangan (muwazanat), fiqh prioritas (aulawiyat), fiqh nash dalam kerangka maqashidu syari'at, fiqh realitas (waqi'), dan fiqh perubahan (taghyir). Yang mereka butuhkan adalah kemauanku mengelaborasinya secara intelektual, dan mengoperasikannya dalam lapangan gerakan. Itu saja.

Diversifikasi agenda mungkin itulah yang mesti kulakukan saat mentas dari usia balita karena "perang Badar di garis depan dimenangkan karena Ibnu Ummi Maktum telah menjaga Madinah". Agar "potong generasi" atau "revolusi" tidak sekedar menjadi slogan. Aku mahasiswa, Aku muslim, Aku orang Indonesia. Namaku KAMMI.

***

Akhi Imron Rosyadi sudah mengenalkan sekaligus mengisahkan KAMMI kepadaku dan juga kepada kader-kader KAMMI bahkan publik dengan lugas dan sederhana. Minimal cerita tentang masa-masa tumbuh dan masa-masa sulit itu. Masa awal mula muncul secara defacto maupun dejure. Dari kekuatan dan ideologi yang melahirkannya sampai fase-fase ia tumbuh menjadi besar. Walau Akhi Imron Rosyadi hanya menceritkan sampai masa Megawati memimpin, namun apa yang diceritakan sangat "mengalur," mencerminkan kesungguhannya untuk mengenang masa-masa indah di KAMMI. Semua itu dilakukan sebagai bukti cintanya kepada KAMMI; kader-kadernya.

Kini zaman telah berubah, dan KAMMI pun sudah berada pada masa yang berbeda pula. Pergantian kepemimpinan nasional dari Megawati-Hamzah Haz ke pasangan SBY-JK pada tahun 2004 untuk periode kepemimpinan 2004-2009 telah menjadi kenyataan, bahkan telah menjadi sejarah. Mengapa? Karena itu telah terjadi. Walau visi reformasi tak begitu terimplementasi, namun minimal ruang publik terbuka lebar bagi pelibatan setiap elemen bangsa untuk bekerja dan bahkan sekedar untuk bersuara; memberikan yang terbaik untuk Indonesia, dan meneriaki para elit yang kuanggap ingkar janji.

Pasangan SBY-JK tentu memiliki tantangan tersendiri dalam membawa negeriku tercinta ke altar kebangkitannya. Banyak kejadian, peristiwa, kasus dan isu yang sangat masif saat itu. Di antaranya, tsunami Aceh, tsunami Ciamis, gempa Yogyakarta, lumpur Lapindo, korupsi, terorisme, hubungan luar negeri, politik global, global warming, kemerdekaan palestina dan seterusnya. SBY-JK waktu itu memang mengalami ujian sebagai pemimpin.

Entahlah, apa yang dilakukan oleh pasangan SBY-JK masih menyisahkan banyak pertanyaan. Baik diriku maupun selain diriku. Bukan sekedar karena SBY-JK mengalami hambatan politik karena koalisi yang ternyata "sakit-sakitan, " tapi juga karena berbagai lembaga tinggi negara, media masa dan LSM dinilai belum melakukan yang terbaik. Bahkan diriku sebagai mahasiswa dan juga teman-temanku hanya diam tak berkutik. Protes atas ketidakadilan hanyak kulakukan ketika diriku tak mendapatkan apa-apa. [Astaghfirullah] . Lalu, apakah dirimu mengalami hal yang sama? Apakah KAMMI berposisi seperti itu? Jangan, janganlah kiranya. KAMMI ini memiliki kehormatan, dan karena itu bagiku, KAMMI terlalu kerdil untuk melakukan hal-hal itu.

Tahun 2004-2009 sebagai masa-masa SBY-JK memangku jabatan sebagai Presiden dan Wakil Presiden negaraku memang adalah masa-masa--yang menurut hasil penelitian dan survey LSM dan berbagai media--membuat sebagian anak bangsa--termasuk diriku--frustasi dan antipati terhadap keberadaan pemerintah dan berbagai lembaga negara. Bahkan mekanisme kenegaraan dan politik tak selalu dianggap penting. Mengapa? Karena ektifitas peran tak begitu menguntungkan masyarakat. "Elit berkuasa, rakyat menderita", cetusku suatu ketika.

Lalu, apakah diriku terlibat bersuara dan bergerak ketika para elit bangsaku seperti itu? Lantunan protes bahkan teriakan-teriakan perubahan tersumbat. Mungkin bukan karena uang eceran sisa korupsi para koruptor yang menyumbat, namun karena orientasi dan ideku yang termakan nafsu jangka pendek atau bahkan kejahiliaan dalam mengimplementasikan nilai-nilai ideologi KAMMI. Hal itu bisa jadi telah membuatku jadi diam membisu. Benar-benar diam tak bertenaga. Sesekali diriku membuat alasan pembenaran dengan berbagai bentuk "pasal-pasal" pembenaran. "Setiap zaman ada skenarionya, karena itu sesuatu yang baku bisa direkayasa, perlu mengikuti trend zaman", dan berbagai macam "pasal-pasal" yang sering kujadikan sebagai pembenaran. Semuanya tak selalu salah, karena yang kumaksud adalah kekuatan imunitas. Ah, entahlah. Itu mungkin pengalamanku. Yang jelas, dari hari ini kuberjanji pada diri bahwa itu adalah masa lalu. Masa-masa untuk belajar menata. Dan masa depan adalah masa-masa bagiku untuk berkontribusi pada taman indah, sebuah negara yang pendahuluku beri nama Indonesia.

Singkat cerita, Muslim Negarawan terlahir sebagai sebuah orientasi pengkaderan KAMMI, sebuah organisasi di mana aku belajar menjadi orang. Tempat diriku memperoleh kultur intelektual dan nilai kebaikan. Sederhana memang, namun itulah sebuah jawaban atas berbagai pertanyaan masyarakat atas berbagai fenomena politik dan kepemimpinan yang serba tak menentu. Bahkan organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang lain, yang konon diharapkan menjadi rahim bagi para pemimpin yang kuat dan berkualitas justru tiarap dan tidur di persimpangan jalan. Benar-benar tak berenergi. Bersuara--seperti mengeluarkan protes sosial dan protes politik--justru hanya menghabiskan tenaga. Bukan saja karena penguasa yang enggan mengubris, tapi juga mungkin karena teman-temanku yang masih menjadi mahasiswa sudah malas mendengar jeritan dan tangisan rakyat. Bahkan teman-temanku yang lain di LSM, Gerakan Mahasiswa dan juga media masa justru berlomba-lomba menyusun proposal demi mendapatkan jatah anggaran dari mereka-meraka yang berwenang. Ironi memang, namun begitulah fenomenanya. Lalu, apakah diriku terjebak dengan teman-temanku yang tak lelah melakukan hal yang boleh jadi tidak haram tetapi bisa "melemahkan" gerakan?

Ah entahlah, mungkin itu sudah menjadi kerja LSM dan media masa. Yang jelas, kini aku--sebagaimana juga KAMMI--telah memasuki fase baru. Bahkan pasangan SBY-JK sudah berlalu. Mereka sudah terpisah. Pemilu 2009 yang lalu adalah saksi perpisahan mereka. Kini aku menyaksikan fenomena baru, pemimpin baru. Minimal pasangan baru. Untuk urusan agenda dan visi kepemimpinan bukan urusanku. Itu adalah urusan SBY-Boediono yang terpilih menjadi pasangan baru; Presiden dan Wakil Presidenku. Ya, "Panglimaku" , "Panglimamu" juga. Namun, diriku dan juga dirimu memiliki tanggung jawab yang mencakup hak dan kewajiban untuk mengingatkan kedua pasangan ini. Bukan karena "sok ngatur," tapi sebagai bukti cinta kepada rakyatku yang mendiami Indonesia. Mengapa? Karena bangsa ini sedang sakit dan menangis tersedu-sedu. Banyak hal yang membuat ia sakit dan menangis. Ada kasus KPK, Century, isu pemakzulan Boediono, situasi politik yang seakan-akan tak terarah dan seterusnya. Pokoknya masalah di mana-mana dan.... Ya begitulah Indonesia; sebuah negeri di mana kutinggal kini.

Lalu, bagaimana KAMMI? Aku tak begitu tahu, yang jelas Muktamar Luar Biasa (MLB) di Jakarta, 16-19 Juni 2009 yang memutuskan untuk digantikannya pasangan Rahmantoha Budiarto-Fikri Azis dengan pasangan Rijalul Imam-Deni P menyisahkan banyak pertanyaan; minimal untuk diriku sendiri. Namun, entahlah, aku tak begitu tahu. Aku hanya "ngedumel" tak berujung. Aku tak memiliki kapasitas untuk berbicara dan membicarakan seputar MLB. Yang jelas, aku hanya mendokumentasikan semua opini yang berkembang sebelum, ketika bahkan setelah MLB. Bukan untuk menabung "kebingungan, " tapi untuk dokumentasi. Benar-benar dokumentasi. Kalau dirimu mau silahkan copy saja ke laptop mungilku. Semoga kelak apa yang diriku lakukan bermanfaat bagi siapapun, terutama KAMMI. Minimal sebagai bahan pelajaran untuk masa-masa yang akan datang. Untuk itu jugalah, diriku tak malu memberikan dokumentasi berupa dfat naskah (kumpulan tulisan) tentang MLB kepada Akhi Rijalul Imam yang kini mendapatkan amanah sebagai Ketua Umum PP. KAMMI periode 2009-2010; Sang Imam yang juga mengimamiku di KAMMI dan juga penerbit Muda Cendekia Bandung [sebuah penerbitan di mana diriku menjadi Tim Redaksi--salah satu Editornya].

2009 dengan berbagai momentumnya- -seperti pergantian kepemimpinan nasional, ulang tahun konferensi Asia-Afrika, usia KAMMI yang memasuki dasawarsa kedua dan seterusnya-- telah berlalu. Indonesia kini sedang dipimpin oleh SBY-Boediono, presiden pilihan rakyat secara langsung. Suatu ketika aku sempat berpikir dan bertanya, "Mengapa SBY-Boediono terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presidenku?" Yah, aku belum begitu paham. Kalau dirimu tak sepakat, jangan salahkan SBY-Boediono. Kalaulah SBY-Boedinono memiliki kesalahan tapi terpilih menjadi "panglima negara," itu bukan sekedar kesalahan mereka untuk--yang konon kata sebagian orang--tidak legowo menjadi rakyat biasa, tapi juga karena memang publik yang "punya suara" belum pernah kau sapa. Rakyat yang sering "dikampanyekan" untuk dibela itu baru basa-basi, semacam iklan penebar janji. Padahal rakyat menangis; bosan melihat janji palsu. Bukan karena mereka benar-benar cerdas, tapi juga karena mereka tak mengenal apa maunya dirimu--sebagaimana juga diriku.

Lalu, bagaimana dengan KAMMI? Dengan Ketua Umum baru yang "diimami" Akhi Rijalul Imam, dengan berbagai macam ide besarnya, KAMMI diharapkan benar-benar terpimpin. KAMMI diharapkan bisa menjalankan peran strategisnya sebagai lokomotif perubahan umat dan bangsa. Dengan catatan, "Imam" yang keliru jangan sungkan ditegur; "makmum" yang "masbuq" juga mesti dikasih teguran. Namun, perlu diriku tahu, kalau "Imam" salah tolong ucapkan "Subhanallah. " Itu kalau diriku Ikhwan (laki-laki). Apa maksudnya? Kalau "Sang Imam" salah baca atau bahkan lupa rukun, jangan "tepuk tangan," itu standar teguran makmun akhwat (wanita) kepada "Sang Imam". Bagi seorang "makmun" ikhwan (laki-laki) caranya dengan memberi pujian kepada Allah dengan memberikan ide segar atau narasi yang membuat "Sang Imam" tersadarkan, dan mengingat kembali bacaan, rencana dan strategi gerakannya.

Mengapa? Karena kalau "tepuk tangan" itu adalah standar teguran akhwat (wanita) kepada sang Imam. Dan kalau seorang "Imam" sudah ditegur akhwat (wanita)--apalagi karena tak mempan dibacakan "subhanallah" oleh "makmun" Ikhwan (laki-laki)- -maka ini adalah isyarat kalau "makmun" Ikhwan (laki-laki) keseringan menegur dengan standar akhwat (wanita) atau "Imam" tak mau ditegur oleh "makmun" ikhwan (laki-laki); sementara akhwat (wanita) menggunakan standar ikhwan (laki-laki) atau "Imam" tak mau ditegur "makmum" akhwat (wanita). Nah, kalau KAMMI sudah begini, maka "subhanallah" dan "tepuk tangan" benar-benar tak ada manfaatnya. Ujuduhu ka 'adamihi; adanya seperti tidak adanya. "Sang Imam" ke mana, "makmun" ke mana. Ketua Umum ke mana, kader-kader KAMMI ke mana-mana.

Diriku selalu berharap agar "Imam-imam KAMMI" dan juga kader-kader KAMMI sebagai "makmum" hadir dan teguh dengan orientasi perjuangannya. Diriku rindu "Imam-imam" dan semua "makmum" KAMMI perginya dirindu dan pulangnya ditunggu. Minimal oleh Sekretariat KAMMI di mana diriku dan mereka sering "sujud", bercerita, bermimpi tentang diri, tentang KAMMI, tentang umat, tentang Indonesia dan Islam. Agar "masjid" indah Indonesia termakmurkan. Sehingga semua orang bisa menunaikan shalat berjama'ah dengan khusyu'; semacam penghambaan hanya untuk Allah dan memberikan yang terbaik serta melakukan apa yang bisa dilakukan untuk Indonesia.

2009 telah berlalu, dan kini aku dan KAMMI sebuah rumah tempat aku tinggal berada di tahun 2010. Di usianya yang ke-12 ini [tanggal 29 Maret 2010, KAMMI sudah berusia 12 tahun], KAMMI menemukan momentum baru bagi Indonesia, bagi umat dan peradaban dunia. Apa yang pernah dijadikan sebagai orientasi bahkan masih menjadi orientasi pengkaderan KAMMI masih dan akan selalu ada relevansinya. Walau kini ide-ide itu masih berhadapan dengan berbagai macam kendala; namun diriku berharap agar ruh dan semangat untuk beramal masih terus membara.

Munculnya Muslim Negarawan adalah jawaban sekaligus cita-cita KAMMI, sebuah ide besar yang membuatku menjadi bertambah semangat. Bukan sekedar karena fenomena politik dari tahun 2004-2009, tapi juga untuk sebuah cita-cita jangka panjang. Memimpikan yang terbaik bagi Indonesia. Muslim Negarawan adalah ide tentang kader-kader [anak-anak dakwah] yang belajar menamam benih; di mana kelak mereka jugalah yang memetik buahnya. Ya, diriku dan dirimu untuk semua orang. Muslim Negarawan diharapkan merupakan manusia yang terlahir dari rahim dakwah--termasuk KAMMI yang kini berusia 12 tahun ini. Jangan menunggu sejarah yang membuatnya menjadi ada, tapi biarlah masing-masing diri meningkatkan kompetensinya. Biar jika masanya tiba, diriku dan dirimu pun terlahir dan tumbuh menjadi besar; menjadi Muslim Negarawan.

Kini KAMMI sudah berusia 12 tahun. Sebuah usia yang sangat muda, dan masih belia. Namun, tentu dengan harapan agar aku tak terjebak dengan usia KAMMI-ku secara dejure; karena sebetulnya secara defacto--sebagai bagian dari gerakan dakwah Islam--KAMMI- ku sudah berusia lebih tua dari umurku. Dan umur defacto-nya KAMMI adalah sandaran bagiku untuk menghitung kerja-kerja KAMMI. Mengapa? Karena KAMMI hanyalah formulasi dari mimpi besar sebuah gerakan besar. Karena itu jugalah bagiku KAMMI adalah gerakan besar; sebuah anugrah terindah bagi Indonesia bahkan juga dunia Islam. Walau kini seakan-akan atau kelihatan lugu, itu bukan karena umur ideologinya yang muda, tapi diriku yang tak mengerti dan belum paham betul apa yang mesti dikerjakan di KAMMI. Hal ini bukan berarti KAMMI tak tau diri, tapi lebih karena diriku--sebagaimana juga kader-kader KAMMI yang lain--baru belajar menjadi "kader KAMMI."

Bagiku, usia 12 tahun ini adalah waktu yang cukup bagi KAMMI untuk membumikan bentuk manusia yang akan dibentuknya, dan apa maunya KAMMI untuk Indonesia--tempat ia dilahirkan-- dan Islam--dien yang dijadikan sebagai pijak dasar gerakannya. Membumikan identitas selama 12 tahun adalah waktu yang sangat cukup untuk itu. Nilai-nilai gerakan dakwah Islam yang terinternalisasi di KAMMI selama ini cukup bagiku--tepatnya KAMMI--untuk menginspirasi Indonesia agar bangkit. Tanpa bermaksud melupakan agenda gerakan pada masa-masa berusia 1 sampai 12 tahun, ke depan KAMMI mesti melakukan sesuatu yang lain. Mungkin substansinya tak berbeda, namun formulasinya mesti disesuaikan dengan zaman di mana KAMMI berada; tempatku menanam benih kebaikan. Setapak demi setapak.

Jujur, diriku merasa bahwa apa yang kupikirkan dan kumimpikan untuk dan di KAMMI belum seberapa. Aku sangat menanti ide-idemu, agar apa yang terbersit dalam pikiran dan obsesi hatiku menjadi kenyataan. Baik untuk masa kini maupun untuk masa depan KAMMI. Karena itu, hari ini [14 Maret 2010], di samping kanan-kiri, di depan-belakang AB3 KAMMI; pada momentum Leader Forum AB3 KAMMI Se-Wilayah Jawa Barat dengan--yang sengaja kuusulkan agar diberi--tema, "12 Tahun KAMMI Menata Indonesia: Membumikan Ideologi, Menginspirasi Indonesia" adalah kesempatan terbuka bagiku untuk bangun dari tidur lama. Sarana pembelajaran bagi kedewasaanku untuk berpikir lebih cerdas dan melangkah lebih tegas; seperti yang sering kusampaikan, "Berpikir Cerdas, Bergerak Tuntas".

Lebih lanjut, agenda ini adalah kesempatan terbaik bagiku untuk mendengar "apa kata mereka"; saudara-saudaraku AB3 KAMMI. Sekaligus mengumpulkan ide yang berserakan, untuk kemudian memaksa diriku untuk ikut terlibat dalam membumikan berbagai gagasan sebagai wujud cintaku kepada KAMMI sebagaimana "diajarkan" oleh nilai-nilai dasar dan prinsip-prinsip (ideologi) gerakan KAMMI di mana aku besar dan dibesarkan.

Apapun hasil agenda Leader Forum ini, diriku tetap percaya bahwa yang hadir adalah orang-orang besar; dengan berbagai macam ide dan keragaman potensinya. Adalah sebuah kecemerlangan jika agenda ini terselenggara atas persiapan yang sederhana, dan memang sangat sederhana. Mengapa? Adalah perlu bagiku untuk bercerita. Panitia yang ikut terlibat sejak awal maupun hingga saat ini adalah inspirator bagiku; tempatku mendapat pelajaran. Mereka telah berusaha untuk melakukan yang terbaik; walau lelah dan letih menerpa bahkan "sakit-sakitan" , itu seakan telah menjadi penguat--semacam obat yang menghilangkan rasa sakit--bagi mereka untuk terus berjalan.

Sekali lagi, walau sederhana, mereka layak diberi apresiasi. Mereka adalah saudara-saudaraku dan saudara-saudaramu juga. Siapa sajakah mereka yang masih belajar untuk terus melampaui kelelahan itu? Siapakah yang terus-menerus merindukan kebaikan untuk KAMMI itu? Mereka adalah Akhi Edi Mardiana [yang beberapa waktu yang lalu menggantikan amanahku di Ketua Bidang Kaderisasi Wilayah Jawa Barat 2009-2010], Ukhti Purnamasari, Ukhti Susi Susilawati [dua-duanya staf Kaderisasi KAMMI Wilayah Jawa Barat 2008-2010], Ukhti Siti Nur'aeni [Akhwat KAMMI UIN 2005] dan beberapa orang yang tak cukup kutulis namanya di sini.

Di samping itu, dengan menjadikan kampus Universitas Padjajajaran (UNPAD) sebagai tempat pelaksanaan pertemuan ini adalah "barokah" lain yang mesti diapresiasi. UNPAD adalah salah satu kampus representatif; representasi dari berbagai kampus besar. Bukan untuk apa-apa, namun semoga ke depan KAMMI terus hidup dan tumbuh di kampus-kampus besar di seluruh negeri ini. Semoga ke depan KAMMI bisa hidup dan besar kembali di beberapa kampus besar, yang dalam waktu terakhir membuat diriku bertanya, "Mengapa di kampus-kampus besar KAMMI 'mati'?..... "Mengapa KAMMI tak begitu 'hangat' di IPB, UI dan ITB?"....Padahal yang aku tahu semua kampus itu berada di Provinsi Jawa Barat, tempatku kini beraktivitas! "

Aku percaya, "Sang Imam" mampu "mengimami" KAMMI dengan tulus dan tegas. Bagiku, "Rijalul Imam" bukan sekedar nama bagi Ketua Umum PP. KAMMI periode 2009-2010, tapi juga "do'a" bagi masa depan KAMMI. Ya, benar-benar "Imamnya para Imam". Dengan senang hati, diriku berharap agar Imam KAMMI saat ini--sebagaimana diriku sebagai "makmum"--benar- benar memahami posisinya dengan tepat.

Yang dibutuhkan sekarang adalah keterlibatanku dan semua kader KAMMI agar "Sang Imam" kuat dan terus-menerus membacakan dengan jelas kepadaku dan kader-kader KAMMI akan "ayat-ayat gerakan" yang sempat dibacakannya dari sejak ia ikut terlibat di KAMMI tahun 2000 yang lalu atau ketika ia mempublikasikan gagasannya melaui buku Menyiapkan Momentum dan di berbagai media.

Semoga "Sang Imam", diriku dan kader-kader KAMMI sebagai "makmum" bahkan elemen bangsa dan umat terinspirasi. Artinya, tema "12 Tahun KAMMI Menata Indonesia: Membumikan Ideologi, Menginspirasi Indonesia" mampu membawaku ke sebuah lapangan luas bernama Indonesia dengan berbagai macam ide besar yang kuperoleh dari saudara-saudaraku di KAMMI. Meminjam ungkapan Akhi Edi Mardiana (Pjs. Ketua KAMDA Sumedang 2010) di sela-sela kesibukannya sebagai Peternak kelinci, "Maju terus, Pantang Mundur!".

Kalau Akhi Fahri Hamzah--mas' ul pertamaku--menyebut nya sebagai "anak-anak sekolah" yang punya "gagasan untuk berjama'ah', berkumpul dalam suatu kesadaran akan pentingnya membina diri secara fisik, mental, dan spiritual" di mana "kesadaran ini berlanjut menjadi semacam gerakan purifikasi" yang menjadikan "sejarah nabi dan sahabat sebagai ingatan dasar", maka hal itu akan terus menjadi inspirasi KAMMI dan insya Allah berlanjut menjadi kenyataan.

Apapun yang kini menjadi pikiran dan obesiku juga dirimu, akan lebih bijak jika ia mendapatkan sudut pandang bahkan ide lain dari siapapun yang mencintai Islam dan bangsa ini. Karena itu, dengan mengharapkan ridho-Nya, diriku dengan tulus mengundang Pa Andi atau yang lebih akrab dipanggil Akhi Andi Rahmat [Ketua Umum KAMMI Pusat periode 2001] menjadi pemateri agenda Leader Forum ini.

Jujur, diriku sedikit malu. Benar-benar malu. Mengapa? Karena pada sore hari Juma'at/12 Maret 2010 ketika Pa Andi Rahmat belum berkesempatan memberikan konfirmasi, aku sempat SMS ke beliau, "Semoga semua aktivitas bernilai amal sholeh di sisi-Nya! Selamat berjuang wahai pejuang dakwah. Perlemen adalah sarana, dan karena itu, semoga semua yang terlibat bisa memberi maslahat. Walau kami sangat menanti kehadiran pa Andi, namun kini kami bertambah percaya bahwa Antum memang sudah bukan hanya milik KAMMI semata tapi juga milik publik yang terseok-seok oleh carut marut yang terus mendera. Selamat berjuang pejuang. Semoga KAMMI mendapat inspirasi dari generasi pendahulu, walau lewat SMS."

Namun, aku tak jadi malu. Karena kini, ternyata apa yang kusampaikan ke beliau bukan "ancaman". Itu adalah bukti kesungguhanku untuk menghadirkan beliau pada acara Leader Forum AB3 KAMMI. Sebab, bagiku, beliau memiliki kapasitas yang sangat mumpuni. Dengan belajar untuk tulus kuharap agar agenda ini bermanfaat; baik bagiku maupun bagi saudara-saudaraku yang hadir di agenda ini, terutama untuk keberlanjutan KAMMI dalam mewujudkan cita-cita gerakannya.

Akhirnya, izinkan aku tuk mengucapkan, "Selamat ber-duabelas pas. Tendang, tendanglah bola [ide besar] itu ke gawang besar Indonesia. Biar ideologi itu mampu menginspirasi Indonesia. Improve Your Competence And Win The Future!"

Jl. Ahmad Yani No. 873 Bandung;
Rabu/10 Maret 2010, Pukul 05.00 – 12.02 WIB

Catatan:
Kalau di dalam tulisan ini ada kalimat atau istilah berbahasa arab itu adalah upaya untuk memperluas ruang bagi bahasa arab dalam realitas kehidupan kita. Namun demikian, saya mohon maaf; lebih-lebih saya tidak mencantumkan arti dari kalimat atau istilah yang saya cantumkan.
__._,_.___
KAMMI Melaksanakan Peringatan Milad Ke-12
Jakarta, 27 Maret 2010

Perubahan, itulah sebuah semangat yang digaungkan oleh segenap kader dan pengurus KAMMI dalam puncak acara Milad ke-12 KAMMI yang berlangsung sabtu malam 27 Maret 2010 di Wisma Graha Pemuda
Menpora, Senayan. Acara yang bertemakan Muslim Negarawan : Menuju Indonesia Baru, Bersih, Mandiri dan Madani ini menghadirkan 2 tokoh bangsa untuk menyampaikan orasi mereka, yaitu Akbar Zulfakar, anggota DPR RI sekaligus alumni KAMMI dan Marwah Daud Ibrahim anggota Dewan Presidium ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).

Di dalam orasinya, Akbar Zulfakar yang juga adalah alumni KAMMI menyatakan,KAMMI lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang pada saat itu sedang didera oleh krisis ekonomi. KAMMI didirikan untuk melakukan perubahan.Beliau juga menyampaikan rasa bangga bahwa KAMMI sejak didirikan pada 29 Maret 1998, telah memiliki perwakilan di 33 Provinsi di Indonesia. Beliau berharap KAMMI dapat berkembang dan Berjaya di masa yang akan datang.

Sementara itu DR. Marwah Daud Ibrahim menyampaikan pentingnya menjaga kedaulatan negara melalui pengembangan iptek dan menyertainya dengan keimanan dan ketakwaan. Pada kesempatan itu pula Dr. Marwah mengajak seluruh anggota KAMMI dan organisasi kepemudaan yang hadir pada saat
itu untuk berpikir dalam kerangka kenegarawanan. Negarawan adalah orang yang berpikir untuk generasi mendatang, lanjut ibu dari 3 anak ini. Beliau mengingatkan kepada aktivis mahasiswa dan para pemuda untuk tidak patah arang dan berpikir untuk kemajuan bangsa, karena beliau memiliki keyakinan bahwa Indonesia bisa Berjaya berdaulat. Para pemuda harus turun ke lapangan, menciptakan peluang, melakukan inovasi dan memberikan solusi yang ril pada persoalan-persoalan masyarakat. Tambah Doktor lulusan Amerika Serikat tersebut.

Pada kesempatan yang sama, Ketua Umum KAMMI Pusat, Rijalul Imam, S. Hum, M. Si menyampaikan orasinya tentang pentingnya persatuan bangsa. Dan beliau mengajak para mahasiswa untuk menyatukan potensi.Indonesia mampu menjadi negara yang kuat dan berdaulat,karena potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam sangat besar. Bahkan Indonesia bisa menjadi pusat peradaban baru di dunia.

Mengenai gerakan mahasiswa, beliau menyampaikan bahwa mahasiswa bukan lagi sebagai agent of change,tetapi harus menjadi director of change. Sudah saatnya mahasiswa memimpin perubahan. Beliau menyampaikan gagasan tentang tren gerakan mahasiswa yang perlu dibangun saat ini, yaitu berbasis riset, berbasis kompetensi dan berbasis kewirausahaan.
Di samping orasi para tokoh, peringatan Milad KAMMI juga di isi oleh pentas seni oleh grup tari Saman dari STIMIK Bidakara Jakarta dan kelompok pengamen dari Bekasi.

Selain di Jakarta, Milad KAMMI ke 12 juga dirayakan di berbagai perwakilan KAMMI di daerah dengan berbagai macam kegiatan,seperti Bakti Sosial dll. (Sofyardi-Tim Humas KAMMI)

(disarikan dari milist kammipusat)

Catatan Hati Kader KAMMI Unila

 Dinamika KAMMILA di Kepemimpinan Baru
 
~Tri Lego Indah~
Kadept Kestari KAMMILA

KAMMI Unila telah lama dikukuhkan keberadaanya, pengukuhan ketua, jajaran BPH dan PH komisariat pun telah lama digelar. Itupun sudan berselang 2 bulan silam. Dalam penantian yang panjang sebelum pelantikan dan up grading pengurus (pelantikan :selasa, 16 Maret 2010), KAMMI Unila sudah banyak melakukan agenda besar berupa proses kaderisasi ,(5,6,7 Maret 2010)Dauroh Marhalah 1 perdana pasca peleburan 3 komisariat di Unila yang kini menjadi KAMMI Unila. Dalam pelaksanaannya di lapangan banyak sekali dinamika yang terjadi, yang ini menjadi bahan evaluasi bagi kita ke depan. Setidaknya sebelum pelantikan seluruh pengurus KAMMI Unila tidak hanya berdiam diri menunggu, tapi sudah aktif untuk menggelar agenda-agenda yang memang sedianya segera dilakukan, mengingat proses keterbutuhan gerakan hari ini.

Banyak sekali dinamika yang saya rasakan selama hampir 2 tahun saya menjadi seorang anggota biasa 1 KAMMI. Dan memang pasca DM1 lama kelamaan kader-kader yang telah direkrut tidak semua mampu bertahan. Mungkin ini terjadi karena kader KAMMI belum merasakan diberi sesuatu dan diperlakukan special layaknya bayi yang baru lahir. Karena memang di KAMMI yang dituntut adalah bagaimana kita sudah mampu memberikan kontribusi di KAMMI. Mungkin juga karena banyak kader KAMMI yang belum memiliki sense of belonging terhadap KAMMI. Dan belum sepenuhnya memahami fikroh yang dibangun di KAMMI (baca: visi, misi, prinsip, paradigma dan kredo gerakan KAMMI), yang kalau kader KAMMI mampu memahami fikroh tsb, akan sangat luar biasa output yang diperoleh sebagai kader KAMMI.
 
Memang tidak dipungkiri, hari ini kader-kader KAMMI terutama di Unila, banyak sekali yang memegang amanah di kampus, sehingga terjadi double amanah bahkan multiple amanah. Hal ini merupakan masalah klasik yang memang seringkali terjadi di tiap tahunnya, yang jadi pertanyaan menggelitik di hati saya, mengapa kebanyakan dari teman2 tsb lebih disibukkan dengan amanah di kampus dibanding di rumah yang telah membesarkan namanya(baca:kammi) dan tidak mau lagi kembali di rumah yang telah membesarkan namanya(baca:kammi), yang memang saya akui di KAMMI kita tidak dihadapkan pada kondisi kenyamanan seperti halnya di lembaga dakwah kampus ataupun bem sekalipun (baca:lembaga internal kampus), karena memang di KAMMI kita dihadapkan pada bagaimana kita mampu menjawab keresahan public dengan perbagai permasalah yang terjadi baik di tataran kampus maupun kedaerahan. Karena yang dibangun adalah bagaimana kita tidak hanya menjadi agent of change tapi mampu menempatkan dirinya sebagai direct of change.
 
27-28 maret 2010 musyawarah kerja komisariat (mukerkom) KAMMI unila telah rampung digelar. Kini yang sangat penting adalah bagaimana realisasi dari program-program kerja yang sudang dirancang sedemikian rupa oleh masing-masing Departemen/biro mupun LSO. Akhirnya butuh sinergisitas dan kesolidan dari kita semua demi tercapainya agenda-agenda dakwah yang akan kita usung bersama dalam upaya mengusung perubahan peradaban di unila dengan semangat keislaman.
 
Semoga tinta emas peradaban yang kita torehkan akan menjadi saksi manis pemberat amalan kita di akhirat kelak.

Thursday, March 18, 2010

Derai air mata kami bertabur
dalam sujud malam penuh syukur……
peluh kami telah deras mengucur,
bangkitkan jiwa umat yang hancur..
Wahai.. jiwa-Jiwa yg lemah,
Bangkitlah tuk masa depan yang cerah.
Wahai para pemegang amanah,
ingatlah semuanya kan punah ……
Reff
KAMMI… (Kesatuan Aksi ….Maha…siswa Muslim Indonesia)
Berju..ang pertahankan agama
Hingga… syahid, kan menjadi nyata
KAMMI….(Kesatuan Aksi ….Maha…siswa Muslim Indonesia)
Berge…rak tuntaskan kedholiman,
bergerak tuntaskan perubahan!!!!